![]() |
Dr. Amos Waruwu |
Penulis: Dr. Amosi Waruwu
Presiden Republik Indonesia “PRABOWO SUBIANTO” melakukan gebrakan baru dalam bidang Hukum di Indonesia dengan memberikan ABOLISI dan AMNESTI kepada Thomas Trikasih Lembong (Menteri Perdagangan/2015) dan HASTO KRISTIANO (Sekjend PDIP) yang keduanya merupakan kasus korupsi di Indonesia. Hal ini merupakan hak seorang Presiden sesuai Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, pada Pasal 4, dijelaskan bahwa pemberian amnesti menghapus seluruh akibat hukum pidana terhadap individu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 2. Sementara itu, apabila seseorang diberikan abolisi, maka penuntutan terhadap yang bersangkutan dihentikan. Selanjutnya UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) menegaskan bahwa Presiden memberikan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR.
Thomas Krikasih Lembong tersandung kasus korupsi impor gula, telah dijatuhi vonis hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada 18 Juli 2025. Namun, kasus tersebut masih bergulir karena pihak Kejaksaan dan Tom Lembong sendiri mengajukan banding atas putusan hakim tersebut. Akan tetapi terungkap dalam persidangan bahwa tidak ada aliran dana dari korupsi itu mengalir ke Thomas Trikasih Lembong, sehingga kuasa hukumnya melakukan upaya banding.
Hasto Kristianto tersandung kasus suap dalam Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR-RI Harun Masiku pada periode 2019-2024. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara 3 tahun dan 6 bulan penjara.
Apa itu ABOLISI dan AMNESTI?
Abolisi merupakan penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seseorang terpidana atau terdakwa yang bersalah. Abolisi Menurut Ahli Marwan dan Jimmy dalam Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition (2009), abolisi merupakan suatu hak untuk menghapus seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapus tuntutan pidana seseorang serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. sedangkan Amnesti merupakan pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.
Dalam sejarah dunia, Abolisi dan amnesti sering digunakan untuk memulihkan bangsa dari trauma besar akibat perang saudara, konflik bersenjata, atau krisis kemanusiaan.
Di Indonesia sendiri, oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pernah memberikan abolisi kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 2005. Abolisi tersebut diberikan bersama dengan amnesti melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada Setiap Orang yang Terlibat GAM.
Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristianto jika merujuk pada dasar hukum tentang Undang-Undang Darurat No, 11 Tahun 1954, mereka bukan bagian dari konflik bersenjata, bukan pula aktor dalam tragedi kemanusiaan. Mereka adalah tokoh politik yang tersandung perkara hukum di masa damai. Maka, menyamakan langkah ini dengan model rekonsiliasi pasca-konflik di negara lain dan Indonesia sendiri terasa dipaksakan. Tanpa proses pengungkapan kebenaran (truth telling), abolisi dan amnesti berisiko berubah menjadi PEMUTIHAN POLITIK.
APA RESONANSI DARI ABOLISI DAN AMNESTI DARI KEDUA TOKOH POLITIK DI ATAS?
1. SECARA HUKUM
Kasus korupsi merupakan extraordinary crime (Kejahatan luar biasa). Jadi secara moral dan hukum, tidaklah etis jika kasus ini dihapuskan tanpa proses peradilan. Hal lain yang timbul adalah melanggar semangat pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Preseden lain adalah berpotensi melanggar konstitusi atau prinsip negara hukum jika tidak memiliki alasan yang kuat.
Perspektif lain secara hukum, yaitu:
• Menciptakan preseden buruk bahwa kejahatan luar biasapun bisa diampuni demi kepentingan politik.
• Menggerus independensi aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Pengadilan).
• Menurunnya Kepercayaan publik, yaitu Publik menilai bahwa hukum tidak adil dan hanya tajam kebawah, dan korupsi dianggap bisa dinegosiasikan, bukanlah kejahatan serius.
• Konflik konstitusional, dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum (UUD 1945, pasal 1 ayat 3) yang menekankan supermasi hukum.
Dapat disimpulkan bahwa Pemberian abolisi dan amnesti terhadap kasus korupsi akan menimbulkan resonansi hukum yang negatif dan destruktif, tidak hanya terhadap sistem hukum, tetapi juga terhadap moral publik dan reputasi negara.
2. SOSIAL
Beberapa Resonansi sosial yang timbul, yaitu:
• Kemarahan dan kekecewaan publik. Publik yang merasa tertindas oleh korupsi, bisa menganggap abolisi dan amnesti sebagai pengkhianatan terhadap keadilan.
• Dapat memicu aksi protes atas ketidak puasan publik terhadap Keputusan pemberian abolisi dan amnesti.
Dapat disimpulkan bahwa Pemberian abolisi dalam kasus korupsi memiliki resonansi sosial yang luas dan cenderung negatif. Ia menggerus rasa keadilan, memperdalam ketidakpercayaan, dan bisa memicu disintegrasi sosial secara perlahan.
3. POLITIK
Resonansi politik terhadap pemberian abolisi dan amnseti dalam kasus korupsi sangat dalam dan berpotensi mengguncang stabilitas serta kredibilitas kekuasaan.
Bebberapa resinonsi politik yang timbul, yaitu
• Turunnya legitimasi politik pemerintah.
• Memperkuat oposisi politik
• Terganggunya koalisi politik, dimana partai-partai pendukung yang tidak sepakat dengan abolisi dan amnesti bisa menjauh atau menarik dukungan.
• Melemahkan agenda reformasi hukum dan pemberantasan korupsi
• Penurunan citra Internasional
• Efek elektoral jangka panjang. Pemberian abolisi dan amnesti kepada koruptor bisa menjadi isu besar yang mempengaruhi suara pemilih dimasa yang akan datang terutama pemilih kritis.
Dapat disimpulkan bahwa Pemberian abolisi dan amnesti dalam kasus korupsi memiliki resonansi politik yang besar dan merugikan, baik secara elektoral, strategis, maupun moral. Hal ini juga bisa menggerus dukungan publik, melemahkan koalisi, dan memberi ruang bagi oposisi untuk menggugat legitimasi kekuasaan.