Oleh: Agusto Sulistio - Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed
Sejarah politik Tunisia sejak kemerdekaannya dari Prancis pada tahun 1956 telah mengalami berbagai perubahan dan dinamika. Negara ini pertama kali dipimpin oleh Presiden Habib Bourguiba, yang dikenal sebagai "Bapak Bangsa" Tunisia. Bourguiba memerintah selama lebih dari tiga dekade sebelum digulingkan oleh kudeta damai pada tahun 1987 oleh Zine El Abidine Ben Ali, menteri dalam negerinya sendiri. Ben Ali kemudian berkuasa hingga 2011 ketika revolusi Jasmine, bagian dari gelombang Arab Spring, menggulingkannya dan memaksa Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi. Setelah itu, Tunisia menjadi negara demokrasi yang relatif stabil dengan mengadakan pemilihan bebas dan terbuka. Namun, pemerintahan baru yang dipimpin oleh berbagai presiden, termasuk Moncef Marzouki, Beji Caid Essebsi, dan sekarang Kais Saied, menghadapi tantangan besar dalam konsolidasi demokrasi dan stabilitas ekonomi.
Presiden Tunisia Kais Saied pada Minggu (25/8/2024) mengumumkan perombakan kabinet besar-besaran yang melibatkan 19 menteri, termasuk untuk posisi pertahanan, urusan luar negeri, dan ekonomi, menjelang pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 6 Oktober mendatang.
Dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilansir Reuters, kepresidenan mengungkapkan bahwa Khaled Shili akan menjabat sebagai menteri pertahanan yang baru, sementara Mohamed Ali Nafti akan menjadi menteri luar negeri.
Sebelumnya, Saied telah memecat Perdana Menteri Ahmed Hachani awal bulan ini dan menggantikannya dengan Kamel Maddouri, menteri urusan sosial.
Para menteri keuangan, kehakiman, dan dalam negeri tetap mempertahankan posisi mereka.
Perombakan kabinet ini dilakukan di tengah krisis keuangan dan ketidakpuasan yang meluas akibat pemadaman listrik dan air yang berulang di banyak bagian negara, serta kekurangan beberapa barang dan obat-obatan. Langkah ini kemungkinan dimaksudkan untuk menyuntikkan darah baru dan menarik pemilih.
Kais Saied, yang memperkuat kekuasaannya pada tahun 2021 setelah membubarkan parlemen terpilih, akan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan presiden mendatang melawan dua kandidat lainnya. Partai oposisi Tunisia dan kelompok hak asasi manusia menuduh pihak berwenang menggunakan "pembatasan sewenang-wenang" dan intimidasi untuk mengecualikan pesaing dari perlombaan pemilihan, yang diduga untuk membuka jalan bagi terpilihnya kembali Saied.
Kesamaan Situasi Politik Tunisia dan Indonesia
Situasi politik di Tunisia memiliki beberapa kesamaan dengan kondisi politik di Indonesia, terutama dalam hal reshuffle kabinet dan konsolidasi kekuasaan. Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia juga mengalami reshuffle kabinet yang cukup signifikan, yang sering kali dipandang sebagai langkah untuk memperkuat basis politik menjelang pemilu. Seperti halnya Kais Saied di Tunisia, Jokowi telah menggunakan reshuffle kabinet untuk menempatkan orang-orang yang dianggap loyal atau yang mampu memperkuat dukungan politik terhadap agenda pemerintahannya.
Keduanya juga menghadapi kritik terkait bagaimana mereka menangani kekuasaan eksekutif. Saied dituduh mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi, seperti pembubaran parlemen yang terpilih. Di Indonesia, meskipun tidak sampai pada pembubaran parlemen, Jokowi dan koalisinya menghadapi tuduhan menggunakan kekuatan politik mereka untuk melemahkan oposisi dan mengendalikan lembaga-lembaga demokratis, seperti upaya kontroversial yang dilihat oleh banyak orang sebagai cara untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau memengaruhi pemilihan yang akan datang.
Reshuffle Kabinet dan Strategi Politik
Perombakan kabinet di kedua negara ini mencerminkan strategi politik yang umum digunakan untuk mengatasi krisis dan mendapatkan dukungan publik. Di Tunisia, reshuffle ini dilakukan di tengah krisis ekonomi dan sosial yang parah, dengan tujuan menenangkan ketidakpuasan publik dan menunjukkan komitmen terhadap perubahan. Di Indonesia, reshuffle kabinet juga sering kali terjadi di tengah tekanan politik atau ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah. Misalnya, reshuffle yang dilakukan pada Desember 2020 oleh Jokowi yang mencakup menteri-menteri kunci seperti Menteri Sosial dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dilakukan di tengah kritik tajam terhadap penanganan pandemi dan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.
Contoh Kegagalan Pemerintahan dengan Strategi Serupa
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa reshuffle kabinet yang dilakukan sebagai upaya politik jangka pendek untuk mengatasi krisis atau memperkuat kekuasaan sering kali tidak efektif dan bahkan dapat berbalik merugikan pemerintah itu sendiri. Contoh konkrit dapat dilihat pada pemerintahan Venezuela di bawah Presiden Nicolás Maduro. Dalam menghadapi krisis ekonomi dan politik yang semakin memburuk, Maduro kerap melakukan reshuffle kabinet dan mengganti pejabat tinggi, termasuk menteri ekonomi dan pertahanan, dengan loyalis. Namun, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mengatasi hiperinflasi, kekurangan pangan, dan meningkatnya ketidakpuasan publik. Sebaliknya, Venezuela jatuh ke dalam krisis kemanusiaan dan ekonomi yang semakin mendalam, dan reputasi internasional pemerintahnya semakin buruk.
Kesamaan pola ini dengan Tunisia dan Indonesia menunjukkan bahwa perombakan kabinet yang berulang-ulang tanpa adanya perubahan kebijakan struktural dan keberanian untuk mengambil langkah reformasi yang nyata hanya akan menjadi langkah kosmetik. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat memperburuk situasi dan menyebabkan keruntuhan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Tantangan Kedepan
Baik Tunisia maupun Indonesia menghadapi tantangan signifikan terkait dengan stabilitas politik dan ekonomi mereka. Tunisia harus menghadapi pemilihan presiden dengan integritas proses yang diragukan dan ekonomi yang goyah. Di Indonesia, dengan menjelangnya Pemilu 2024, tantangan yang serupa muncul: memastikan proses pemilu yang adil dan transparan, mengelola perpecahan politik, dan mengatasi ketidakpuasan publik terhadap isu-isu seperti korupsi dan ketidaksetaraan ekonomi.
Perombakan kabinet yang sering dilakukan oleh kedua pemerintahan ini menjadi tanda bahwa mereka berusaha menjaga kekuatan politik dan merespons tekanan sosial. Namun, pertanyaan tetap ada: apakah langkah-langkah ini akan cukup untuk menghadapi tantangan yang lebih besar dari krisis ekonomi, korupsi, dan erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi? Hanya waktu yang akan menjawab apakah reshuffle ini akan membawa perubahan positif atau justru memperkuat cengkeraman kekuasaan pada satu tangan, meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya diperjuangkan oleh kedua negara ini. (*)