Karya Tulis Jurnalistik

SW25
0

 

Optimalisasi Keikutsertaan Masyarakat

Pada Perilaku Transaksi Digital Melalui Perwujudan

Komunitas dan Kampung Binaan Berbasis Digitalisasi

Ilustrasi-red


Oleh : Samsul Pasaribu

Wartawan Media Online – Limakabar.com

  

Pendahuluan

                 Merujuk pada apa yang pernah dikemukakan oleh Heraclatos (540-480 SM) yaitu “Nothing Endures But Change” atau “Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri” maka satu hal yang paling mendasar untuk dipahami adalah perubahan itu merupakan suatu keniscayaan. Ia bukan pilihan tapi sebuah keharusan. Perubahan-perubahan itu adakalanya terbentuk secara alamiah seperti iklim dan lingkungan dan ada kalanya disebabkan oleh tuntutan keadaan seperti didorong oleh kebutuhan, efektifitas dan inovasi. Maka, jika arus perubahan itu sudah datang, pilihannya hanya ada dua; ikuti atau tergerus.

            Tentu konsteks perubahan yang dimaksudkan pada tataran ini adalah perubahan konstruktif. Yaitu, laju perubahan yang membawa pada perilaku positif dan bermaslahat bagi kemanusiaan. Pelopor perubahan itu bisa apa saja dan siapa saja. Sebagai objek penting dari sebuah proses perubahan itu kita pun hanya dihadapkan kepada dua pilihan penting yaitu; menjadi leader atau followers. Dua pilihan ini sama-sama tidak mudah. Jika kita berani berkata “I am A leader, saya adalah pemimpin” maka wajib pula ada pertanyaan yang harus kita jawab “So, who is your followers, kalau begitu siapa pengikutmu” Karena pemimpin tanpa pengikut itu buta. Dan pengikut tanpa pemimpin itu sesat.

            Salah satu “leader” yang membawa arus perubahan itu di tanah air adalah Bank Indonesia. Inovasi yang dilakukan secara terus-menerus telah bertransformasi secara cepat mengikuti landscape teknologi yang berubah-ubah. Bank Indonesia hadir membawa sebuah perubahan perilaku bertransaksi yang konvensional menuju era pembayaran cepat dan transformasi digital. Pertanyaannya. Jika Bank Indonesia percaya diri disebut sebagai leader lalu siapa yang jadi followers.


Pembahasan

            Menteri luar negeri Amerika Serikan, Colin Powell, masa pemerintahan George W. Bush (2001-2005) pernah mengatakan “Sebuah mimpi tidak akan menjadi kenyataan melalui sihir. Ia membutuhkan keringat, tekad dan kerja keras”. Ungkapan ini merupakan sebuah penegasan bahwa tidak ada inovasi dan kreatifitas yang akan terwujud dengan cepat dan sempurna tanpa dibarengi dengan ikhtiar yang tiada batas. Demikian halnya dengan inovasi yang saat ini sedang digaungkan oleh Bank Indonesia melalui sejumlah terobosan berbasis digital dalam mengubah perilaku bertransaksi masyarakat dari bentuk konvensional menjadi digital.

            Mengubah pola transaksi masyarakat yang “tradisional” itu kepada perilaku “moderen” bukanlah hal yang mudah. Modal penting yang harus dimiliki oleh setiap stakeholder adalah optimisme. Namun, sebelum formula yang tepat untuk mengoptimalkan keikutsertaan masyarakat dalam dunia transaksi digital saat ini ditemukan, diperlukan pemetaan permasalahan yang paling mendasar dari tantangan penerapan transaksi digital tersebut.

              Bank Indonesia sejauh ini sudah banyak melakukan terobosan konstruktif dalam menarik keikutsertaan elemen masyarakat pada gaya hidup modern bertransaksi. Kehadiran Quick Response Code Indonesia Standard atau QRIS yang diperuntukkan bagi standarisasi pembayaran menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia agar proses transaski menjadi lebih mudah, cepat dan terjaga keamanannya, harus menyentuh seluruh arus transaksi yang terjadi mulai dari hulu hingga hilir. Layaknya siklus makanan, arus transaksi yang diharapkan terjadi pun harus demikian halnya.

            Kendala yang ditemukan dilapangan. Masyarakat sebagai followers dari penerapan inovasi modern ini dihadapkan kepada alur transaksi yang terputus. Pelaku UMKM misalnya. Kelompok usaha mikro ini tidak dapat dengan leluasa menggunakan QRIS dalam setiap transaksinya karena pada akhirnya ia pun akan melakukan transaksi konvensional yang mengharuskannya untuk bertransaksi secara fisik. Hal ini disebabkan oleh belum seluruh masyarakat terserap arus digitalisasi ini.

            Beranjak dari realita itu. Penulis berpandangan perlu ada strategi kongkrit, dan berkesinambungan dari stakeholder (Bank Indonesia) sebagai leader untuk melakukan pembinaan terhadap kelompok masyarakat (sebagai stakeholder lainnya) melalui pembangunan komunitas dan lingkungan yang didalamnya siklus transaksi digital itu berproses secara utuh.

            Membangun komunitas dan lingkungan  berbasis transaksi digital ini bukan lagi pada tataran sosialisasi yang kerap dilakukan. Jika sosialisasi ditujukan untuk tataran perkenalan maka pembinaan komunitas dan lingkungan ini pada tataran prakteknya. Bank Indonesia khususnya kantor perwakilan cabang Sibolga tentu sudah berpengalaman bagaimana sosialisasi penggunaan QRIS pada abang-abang becak hasilnya jauh dari yang diharapkan. Persoalannya bukan pada abang-abang becak itu. Karena QRIS nyata-nyata mempermudah proses transaksi yang berlangsung. Namun karena tidak didukung oleh lingkungannya.

Sosialisasi pengaplikasian QRIS bagi masyarakat harus tetap dilakukan. Tetapi sejalan dengan itu pembinaan terhadap komunitas dan lingkungan baik pula untuk dilakukan. Komunitas dan lingkungan ini dibentuk dan dibina sedemikian rupa hingga tercipta iklim perilaku digital di lingkungannya. Mereka merasakan langsung manfaat bertransaksi secara digital tanpa kendala. Komunitas yang akan langsung dibawah binaan kantor perwakilan Bank Indonesia cabang Sibolga ini berproses dan menjadi duta Bank Indonesia dalam memaksimalkan penyebarluasan informasi terkait transaksi digital.

            Kita tentu pernah mendengar istilah kampung bebas narkoba program ini dibawah binaan kepolisian di daerah. Bank Indonesia tentu bisa melakukan hal yang sama melalui program kampung transaksi digital. Atau nama lain yang lebih membuming. Di kampung binaan ini masyarakatnya menerapkan pola berinteraksi secara digital. Kepada mereka disiapkan semua perangkat atau instrumen yang memudahkan proses transaksi itu berjalan. Tentunya semangat yang dibangun adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Posisi Bank Indonesia sebatas melakukan pembinaan, fasilitasi, evaluasi untuk peningkatn pencapaian.

            Tentu dalam penerapannya tidak bisa langsung 100 persen. Setidaknya melalui komunitas dan kampung binaan itu ada proses transaksi dikomoditi tertentu yang harus mereka lakukan secara digital. Ibarat masa transisi, perilaku hidup berbasis digitalisasi itu untuk sementar harus berjalan berdampingan dengan pola yang ada saat ini. Seiring berjalannya waktu, proses itu akan menjadi mengantarkan masyarakat pada perilaku bertransaksi yang 100 persen digitalisasi. 

 

Penutup

            Ada kata bijak seperti ini “Tak ada cita-cita yang terlalu tinggi. Yang ada adalah usaha yang terlalu sedikit”. Kata bijak ini memberi pesan mendalam tentang setiap perencanaan harus dibarengi dengan ikhtiar yang maksimal.

            Pembinaan terhadap komunitas dan kampung berbasis digital itu menjadi laboratoriumnya masyarakat untuk tahu manfaat ril dari bertransaksi secara digital. Strategi ini menjadi soko guru masyarakat untuk merasakan langsung atmosfir hidup diera digitalisasi yang serba mudah dan aman. Dari komunitas dan kampung binaan ini masyarakat akan tersadarkan bahwa perubahan memang akan terus terjadi.  

            Dalam tulisan ini penulis mengatakan jika Bank Indonesia percaya diri disebut sebagai leader lalu siapa yang jadi followers. Jawabannya adalah masyarakat. Tentu sebagai leader, Bank Indonesia ingin agar semua followers-nya merasakan manfaat besar dari kepemimpinannya. Maka caranya bukan sebatas memberitahu melalui sosialisasi tetapi bersama besinergi lewat pembinaan yang kongkrit dan berkesinambungan. 

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)