Optimalisasi
Keikutsertaan Masyarakat
Pada
Perilaku Transaksi Digital Melalui Perwujudan
Komunitas
dan Kampung Binaan Berbasis Digitalisasi
Ilustrasi-red |
Oleh : Samsul
Pasaribu
Wartawan Media Online
– Limakabar.com
Pendahuluan
Tentu
konsteks perubahan yang dimaksudkan pada tataran ini adalah perubahan
konstruktif. Yaitu, laju perubahan yang membawa pada perilaku positif dan
bermaslahat bagi kemanusiaan. Pelopor perubahan itu bisa apa saja dan siapa
saja. Sebagai objek penting dari sebuah proses perubahan itu kita pun hanya
dihadapkan kepada dua pilihan penting yaitu; menjadi leader atau followers.
Dua pilihan ini sama-sama tidak mudah. Jika kita berani berkata “I am A leader, saya adalah pemimpin” maka
wajib pula ada pertanyaan yang harus kita jawab “So, who is your followers, kalau begitu siapa pengikutmu” Karena
pemimpin tanpa pengikut itu buta. Dan pengikut tanpa pemimpin itu sesat.
Salah
satu “leader” yang membawa arus
perubahan itu di tanah air adalah Bank
Indonesia. Inovasi yang dilakukan secara terus-menerus telah
bertransformasi secara cepat mengikuti landscape
teknologi yang berubah-ubah. Bank
Indonesia hadir membawa sebuah perubahan perilaku bertransaksi yang
konvensional menuju era pembayaran cepat dan transformasi digital.
Pertanyaannya. Jika Bank Indonesia percaya diri disebut sebagai leader lalu siapa yang jadi followers.
Pembahasan
Menteri
luar negeri Amerika Serikan, Colin Powell, masa pemerintahan George W. Bush
(2001-2005) pernah mengatakan “Sebuah
mimpi tidak akan menjadi kenyataan melalui sihir. Ia membutuhkan keringat,
tekad dan kerja keras”. Ungkapan ini merupakan sebuah penegasan bahwa tidak
ada inovasi dan kreatifitas yang akan terwujud dengan cepat dan sempurna tanpa
dibarengi dengan ikhtiar yang tiada batas. Demikian halnya dengan inovasi yang
saat ini sedang digaungkan oleh Bank
Indonesia melalui sejumlah terobosan berbasis digital dalam mengubah
perilaku bertransaksi masyarakat dari bentuk konvensional menjadi digital.
Mengubah
pola transaksi masyarakat yang “tradisional”
itu kepada perilaku “moderen”
bukanlah hal yang mudah. Modal penting yang harus dimiliki oleh setiap stakeholder adalah optimisme. Namun, sebelum formula yang tepat untuk mengoptimalkan
keikutsertaan masyarakat dalam dunia transaksi digital saat ini ditemukan,
diperlukan pemetaan permasalahan yang paling mendasar dari tantangan penerapan transaksi
digital tersebut.
Bank
Indonesia sejauh ini sudah banyak melakukan terobosan konstruktif dalam menarik keikutsertaan
elemen masyarakat pada gaya hidup modern bertransaksi. Kehadiran Quick Response Code Indonesia Standard
atau QRIS yang diperuntukkan bagi standarisasi pembayaran menggunakan metode QR
Code dari Bank Indonesia agar proses
transaski menjadi lebih mudah, cepat dan terjaga keamanannya, harus menyentuh
seluruh arus transaksi yang terjadi mulai dari hulu hingga hilir. Layaknya
siklus makanan, arus transaksi yang diharapkan terjadi pun harus demikian
halnya.
Kendala
yang ditemukan dilapangan. Masyarakat sebagai followers dari penerapan inovasi modern ini dihadapkan kepada alur
transaksi yang terputus. Pelaku UMKM misalnya. Kelompok usaha mikro ini tidak
dapat dengan leluasa menggunakan QRIS dalam setiap transaksinya karena pada
akhirnya ia pun akan melakukan transaksi konvensional yang mengharuskannya
untuk bertransaksi secara fisik. Hal ini disebabkan oleh belum seluruh masyarakat
terserap arus digitalisasi ini.
Beranjak
dari realita itu. Penulis berpandangan perlu ada strategi kongkrit, dan
berkesinambungan dari stakeholder (Bank Indonesia) sebagai leader untuk melakukan pembinaan terhadap
kelompok masyarakat (sebagai stakeholder
lainnya) melalui pembangunan komunitas dan lingkungan yang didalamnya siklus
transaksi digital itu berproses secara utuh.
Membangun
komunitas dan lingkungan berbasis
transaksi digital ini bukan lagi pada tataran sosialisasi yang kerap dilakukan.
Jika sosialisasi ditujukan untuk tataran perkenalan maka pembinaan komunitas
dan lingkungan ini pada tataran prakteknya. Bank
Indonesia khususnya kantor perwakilan cabang Sibolga tentu sudah
berpengalaman bagaimana sosialisasi penggunaan QRIS pada abang-abang becak hasilnya
jauh dari yang diharapkan. Persoalannya bukan pada abang-abang becak itu. Karena
QRIS nyata-nyata mempermudah proses transaksi yang berlangsung. Namun karena
tidak didukung oleh lingkungannya.
Sosialisasi
pengaplikasian QRIS bagi masyarakat harus tetap dilakukan. Tetapi sejalan
dengan itu pembinaan terhadap komunitas dan lingkungan baik pula untuk
dilakukan. Komunitas dan lingkungan ini dibentuk dan dibina sedemikian rupa hingga
tercipta iklim perilaku digital di lingkungannya. Mereka merasakan langsung manfaat
bertransaksi secara digital tanpa kendala. Komunitas yang akan langsung dibawah
binaan kantor perwakilan Bank Indonesia cabang
Sibolga ini berproses dan menjadi duta Bank
Indonesia dalam memaksimalkan penyebarluasan informasi terkait transaksi
digital.
Kita
tentu pernah mendengar istilah kampung
bebas narkoba program ini dibawah binaan kepolisian di daerah. Bank Indonesia tentu bisa melakukan hal
yang sama melalui program kampung transaksi
digital. Atau nama lain yang lebih membuming. Di kampung binaan ini
masyarakatnya menerapkan pola berinteraksi secara digital. Kepada mereka
disiapkan semua perangkat atau instrumen yang memudahkan proses transaksi itu
berjalan. Tentunya semangat yang dibangun adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Posisi Bank Indonesia sebatas melakukan
pembinaan, fasilitasi, evaluasi untuk peningkatn pencapaian.
Tentu
dalam penerapannya tidak bisa langsung 100 persen. Setidaknya melalui komunitas
dan kampung binaan itu ada proses transaksi dikomoditi tertentu yang harus
mereka lakukan secara digital. Ibarat masa transisi, perilaku hidup berbasis
digitalisasi itu untuk sementar harus berjalan berdampingan dengan pola yang
ada saat ini. Seiring berjalannya waktu, proses itu akan menjadi mengantarkan
masyarakat pada perilaku bertransaksi yang 100 persen digitalisasi.
Penutup
Ada
kata bijak seperti ini “Tak ada cita-cita
yang terlalu tinggi. Yang ada adalah usaha yang terlalu sedikit”. Kata
bijak ini memberi pesan mendalam tentang setiap perencanaan harus dibarengi
dengan ikhtiar yang maksimal.
Pembinaan
terhadap komunitas dan kampung berbasis digital itu menjadi laboratoriumnya
masyarakat untuk tahu manfaat ril dari bertransaksi secara digital. Strategi
ini menjadi soko guru masyarakat untuk merasakan langsung atmosfir hidup diera
digitalisasi yang serba mudah dan aman. Dari komunitas dan kampung binaan ini
masyarakat akan tersadarkan bahwa perubahan memang akan terus terjadi.
Dalam tulisan ini penulis mengatakan jika Bank Indonesia percaya diri disebut sebagai leader lalu siapa yang jadi followers. Jawabannya adalah masyarakat. Tentu sebagai leader, Bank Indonesia ingin agar semua followers-nya merasakan manfaat besar dari kepemimpinannya. Maka caranya bukan sebatas memberitahu melalui sosialisasi tetapi bersama besinergi lewat pembinaan yang kongkrit dan berkesinambungan.